** Mestinya Melalui Kajian Lebih Dulu
BANGKEP – Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) dan
Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah diminta mengambil sikap tegas dengan
menolak investasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bangkep. Selama
ini gerakan penolakan datang dari masyarakat dan mahasiswa.
Ketua
Ikatan Pemuda Banggai Kepulauan (IPBK) M Ikra, mengatakan perkebunan
kelapa sawit tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, karena
hanya memberikan kekyaan kepada pengusaha, sehingga tidak benar
disebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit untuk peningkatan ekonomi
masyarakat.
Menurut Ikra, dari beberapa kajian akademik, bahwa
dengan mengalihkan lahan untuk perkebunan kelapa sawit tidak memberikan
nilai tambah apapun, baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi ekologis.
Apalagi di Bangkep masih terdapat komoditi pertanian lain yang bisa
memberikan nilai ekonomi yang lebih baik, semisal budidaya kemiri maupun
jambu mete, bahkan Bangkep memiliki komoditi khas yakni Ubi Banggai.
“Yang paling penting sekarang bagaimana warga Bangkep menjaga
kelestarian Ubi Banggai ini,” ujarnya.
Ikra mengatakan,
kesejahteraan petani kelapa sawit dipengaruhi oleh luas lahan, hasil
produksi dan harga kelapa sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki,
pengelolaan kebun yang tidak optimal, dan penentuan harga sepihak yang
tidak menguntungkan petani, merupakan faktor penting dalam mempengaruhi
kesejahteraan petani. Akibatnya petani tetap hidup miskin, terjerat
hutang atau terjebak dalam permainan pemodal. “Saya menyaksikan betul
bahwa rencana PT Agrodeco yang akan memberikan pinjaman selama sebelum
masa panen adalah bentuk penindasan lewat utang. Petani yang semakin
terlilit utang, lama kelamaan akan menjual tanahnya kepada perusahaan,
karena pendapatan sawitnya tidak cukup untuk lahan seluas satu Hektar
atau 2 Hektar saja. Yang kaya perusahaan dengan bupati dan pejabat, dan
bukan masyarakat,” ujarnya.
Pembangunan kebun plasma sawit kepada
masyarakat ternyata juga diikuti dengan skema kredit dengan bunga
komersil dan jangka panjang. Hal ini akan menambah beban ekonomi baru
bagi masyarakat. Pupuk, bibit, pestisida, tidaklah diberikan gratis
kepada masyarakat, namun menjadi sebuah paket kredit yang harus
dibayarkan di saat panen. Sehingga dalam perhitungan ekonomi kebun
plasma, komponen tenaga kerja menjadi dihilangkan untuk menunjukkan
nilai keuntungan yang besar bagi petani plasma, yang sejatinya sangat
merugikan petani. “Ini bentuk pemiskinan dengan iming-iming
kesejahteraan,” jelasnya.
Ikra juga menyayangkan sikap gegabah
Bupati Bangkep Lania Laosa yang telah mengeluarkan izin lokasi 10.500 Ha
kepada PT Agrodeco Dutakarsa, tanpa melalui persetujuan DPRD Bangkep,
maupun juga tidak melalui kajian. “Sikap gegabah Bupati itu bisa
menimbulkan bencana ekologis bagi Kabupaten Banggai Kepulauan,”
jelasnya.
Ikra menyebutkan, IPBK mendapatkan data dari berbagai
daerah soal dampak sawit. Dari berbagai daerah yang telah melakukan
pembukaan perkebunan besar kelapa sawit, semisal Kabupaten Pasir, saat
ini telah mengalami bencana lingkungan, baik banjir maupun kekeringan,
dikarenakan terganggunya fungsi aliran air (hidrologis) lahan karena
tanah tak lagi mampu menyerap air dan menyimpannya. “Kami berencana
menempuh langkah hukum demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat
Bangkep. Langkah yang diambil ialah menggugat SK Izin Lokasi Bupati
Nomor 175 melalui PTUN Palu. Karena Bupati tidak memenuhi
peratiran-peraturan soal sawit, dan malah justru telah keluar izin
lokasi. Kami juga akan melaporkan Bupati Bangkep ke Polda Sulteng,
karena telah menipu rakyat dengan mengeluarkan izin lokasi yang tidak
disertai kajian terlebih dahulu,” ujarnya.
Masih kata Ikra, ada
kepentingan politik di kelapa sawit Bangkep. Dia menilai kemauan keras
Bupati Bangkep Lania Laosa dan PT Agrodeco membuka sawit di Bangkep
tanpa mengindahkan aturan, disinyalir ada unsur dugaan korupsi seperti
halnya pada proses penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) di Buol. “Dari
tahapan-tahapan yang dilalui pemerintah bersama perusahaan dalam
menyosialisasikan sawit di Bangkep hingga tahapan ganti rugi tanaman,
ada indikasi mark up oleh tim pemerintah daerah, yaitu membuat data
daftar ganti rugi tanaman tidak sesuai dengan tanaman yang sesungguhnya
di lapangan,” jelasnya.
Ikra mengatakan, mekanime yang harus dilalui
adalah pengurusan Amdal terlebih dulu setelah izin lokasi. Dari Amdal
yang dikeluarkan Gubernur Sulteng yang menjadi dasar bagi perusahaan
dalam menentukan langkah selanjutnya. “Saat ini di kalangan masyarakat
masih terjadi pro dan kontra soal perkebunan sawit termasuk juga pemilik
lahan, kok bisa diurus Amdal. Sebelum Amdal kan seharusnya clear dulu
persoalan tanah,” ujarnya.
Ikra mengatakan pembangunan perkebunan
kelapa sawit juga telah menjadi sebuah komoditas politik.
Kepentingan-kepentingan politik sangat terlihat dalam pembangunan
perkebunan besar kelapa sawit. Begitu besarnya kebutuhan keuangan untuk
pertarungan politik, telah menjadikan kelahiran negosiasi politik antara
politikus dengan pengusaha perkebunan. Pemberian perizinan perkebunan
besar, dibarengi dengan kucuran dana politik. Sehingga bukan sesuatu
yang aneh lagi bila menemukan adanya janji politik berkaitan dengan
pembangunan perkebunan kelapa sawit kepada masyarakat.(bar)
Sumber: Radar Sulteng edisi senin, 27 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar