Selasa, 29 Januari 2013

Sawit di Bangkep Dinilai Sarat Kepentingan Politik

** Mestinya Melalui Kajian Lebih Dulu

BANGKEP – Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) dan Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah diminta mengambil sikap tegas dengan menolak investasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bangkep. Selama ini gerakan penolakan datang dari masyarakat dan mahasiswa.
Ketua Ikatan Pemuda Banggai Kepulauan (IPBK) M Ikra, mengatakan perkebunan kelapa sawit tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, karena hanya memberikan kekyaan kepada pengusaha, sehingga tidak benar disebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit untuk peningkatan ekonomi masyarakat.
Menurut Ikra, dari beberapa kajian akademik, bahwa dengan mengalihkan lahan untuk perkebunan kelapa sawit tidak memberikan nilai tambah apapun, baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi ekologis. Apalagi di Bangkep masih terdapat komoditi pertanian lain yang bisa memberikan nilai ekonomi yang lebih baik, semisal budidaya kemiri maupun jambu mete, bahkan Bangkep memiliki komoditi khas yakni Ubi Banggai. “Yang paling penting sekarang bagaimana warga Bangkep menjaga kelestarian Ubi Banggai ini,” ujarnya.
Ikra mengatakan, kesejahteraan petani kelapa sawit dipengaruhi oleh luas lahan, hasil produksi dan harga kelapa sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki, pengelolaan kebun yang tidak optimal, dan penentuan harga sepihak yang tidak menguntungkan petani, merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kesejahteraan petani. Akibatnya petani tetap hidup miskin, terjerat hutang atau terjebak dalam permainan pemodal. “Saya menyaksikan betul bahwa rencana PT Agrodeco yang akan memberikan pinjaman selama sebelum masa panen adalah bentuk penindasan lewat utang. Petani yang semakin terlilit utang, lama kelamaan akan menjual tanahnya kepada perusahaan, karena pendapatan sawitnya tidak cukup untuk lahan seluas satu Hektar atau 2 Hektar saja. Yang kaya perusahaan dengan bupati dan pejabat, dan bukan masyarakat,” ujarnya.
Pembangunan kebun plasma sawit kepada masyarakat ternyata juga diikuti dengan skema kredit dengan bunga komersil dan jangka panjang. Hal ini akan menambah beban ekonomi baru bagi masyarakat. Pupuk, bibit, pestisida, tidaklah diberikan gratis kepada masyarakat, namun menjadi sebuah paket kredit yang harus dibayarkan di saat panen. Sehingga dalam perhitungan ekonomi kebun plasma, komponen tenaga kerja menjadi dihilangkan untuk menunjukkan nilai keuntungan yang besar bagi petani plasma, yang sejatinya sangat merugikan petani. “Ini bentuk pemiskinan dengan iming-iming kesejahteraan,” jelasnya.
Ikra juga menyayangkan sikap gegabah Bupati Bangkep Lania Laosa yang telah mengeluarkan izin lokasi 10.500 Ha kepada PT Agrodeco Dutakarsa, tanpa melalui persetujuan DPRD Bangkep, maupun juga tidak melalui kajian. “Sikap gegabah Bupati itu bisa menimbulkan bencana ekologis bagi Kabupaten Banggai Kepulauan,” jelasnya.
Ikra menyebutkan, IPBK mendapatkan data dari berbagai daerah soal dampak sawit. Dari berbagai daerah yang telah melakukan pembukaan perkebunan besar kelapa sawit, semisal Kabupaten Pasir, saat ini telah mengalami bencana lingkungan, baik banjir maupun kekeringan, dikarenakan terganggunya fungsi aliran air (hidrologis) lahan karena tanah tak lagi mampu menyerap air dan menyimpannya. “Kami berencana menempuh langkah hukum demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat Bangkep. Langkah yang diambil ialah menggugat SK Izin Lokasi Bupati Nomor 175 melalui PTUN Palu. Karena Bupati tidak memenuhi peratiran-peraturan soal sawit, dan malah justru telah keluar izin lokasi. Kami juga akan melaporkan Bupati Bangkep ke Polda Sulteng, karena telah menipu rakyat dengan mengeluarkan izin lokasi yang tidak disertai kajian terlebih dahulu,” ujarnya.
Masih kata Ikra, ada kepentingan politik di kelapa sawit Bangkep. Dia menilai kemauan keras Bupati Bangkep Lania Laosa dan PT Agrodeco membuka sawit di Bangkep tanpa mengindahkan aturan, disinyalir ada unsur dugaan korupsi seperti halnya pada proses penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) di Buol. “Dari tahapan-tahapan yang dilalui pemerintah bersama perusahaan dalam menyosialisasikan sawit di Bangkep hingga tahapan ganti rugi tanaman, ada indikasi mark up oleh tim pemerintah daerah, yaitu membuat data daftar ganti rugi tanaman tidak sesuai dengan tanaman yang sesungguhnya di lapangan,” jelasnya.
Ikra mengatakan, mekanime yang harus dilalui adalah pengurusan Amdal terlebih dulu setelah izin lokasi. Dari Amdal yang dikeluarkan Gubernur Sulteng yang menjadi dasar bagi perusahaan dalam menentukan langkah selanjutnya. “Saat ini di kalangan masyarakat masih terjadi pro dan kontra soal perkebunan sawit termasuk juga pemilik lahan, kok bisa diurus Amdal. Sebelum Amdal kan seharusnya clear dulu persoalan tanah,” ujarnya.
Ikra mengatakan pembangunan perkebunan kelapa sawit juga telah menjadi sebuah komoditas politik. Kepentingan-kepentingan politik sangat terlihat dalam pembangunan perkebunan besar kelapa sawit. Begitu besarnya kebutuhan keuangan untuk pertarungan politik, telah menjadikan kelahiran negosiasi politik antara politikus dengan pengusaha perkebunan. Pemberian perizinan perkebunan besar, dibarengi dengan kucuran dana politik. Sehingga bukan sesuatu yang aneh lagi bila menemukan adanya janji politik berkaitan dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit kepada masyarakat.(bar)
Sumber: Radar Sulteng edisi senin, 27 Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar