Pelajar Islam Indonesia disingkat PII
adalah sebuah organisasi Pelajar Islam yang pertama setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Didirikan di Kota Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Joesdi Ghazali,
Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji.
Pembentukan
Salah satu faktor pendorong terbentuknya
Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan
umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum.
Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah
umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua
kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren
menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial
Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan
"pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok
pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri
kolot" atau santri "teklekan".
Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi
pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) namun organisasi
tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Hal ini
menjadi kerisauan seorang pelajar STI
Yogyakarta, Joesdi
Ghazali.
Oleh karena itu, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika sedang beri'tikaf di Masjid
Besar Kauman
Yogyakarta, muncul gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar
Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut
kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Setyodiningratan,
Yogyakarta. Peserta pertemuan tersebut antara lain: Anton
Timur Djaelani, Amien
Sjahri
dan Ibrahim
Zarkasji.
Semua yang hadir bersepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.
Joesdi Ghazali kemudian menyampaikan
kesepakatan tersebut dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1 April 1947. Kongres menyetujui gagasan Joesdi Ghazali
dan memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk
bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Selanjutnya
peserta kongres GPII yang kembali ke daerah masing-masing juga diminta untuk
memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.
Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Minggu, 4 Mei 1947, diadakan
pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri
Joesdi
Ghozali, Anton
Timur Djaelani
dan Amien
Syahri
dari GPII Bagian Pelajar, Ibrahim Zarkasji dari Yahya Ubeid dari Persatuan
Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus
Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta, serta Dida Gursida dan Supomo NA dari
Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh
Joesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam
Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947 M/ 12 Jumadits Tsani 1366 H.
Hari pembentukan PII tersebut diperingati sebagai Hari
Bangkit
PII (HARBA PII). Hal dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang
sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau
hari ulang tahun.
Revolusi Fisik
Tak lama setelah PII berdiri pada tahun, pada
tahun 1947 Belanda melancarkan agresi militer yang pertama. Dalam agresi ini kader
PII terlibat dalam revolusi fisik melalui pembentukan Brigade PII di Ponorogo
pada 6 November 1947 yang dipimpin oleh Abdul Fattah Permana. Korps yang baru
dibentuk ini ikut serta sebaga pendamping Jenderal Sudirman dalam perang gerilya.
Secara khusus Jenderal Sudirman mengapresiasi peran PII dalam pidatonya pada
peringatan Hari
Bangkit I
PII tahun 1948 di Yogyakarta
"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih
kepada anak-anakku di PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah
diberikan oleh PII kepada negara. Teruskan perjuanganmu. Hai anak-anakku Pelajar
Islam Indonesia. “Negara di dalam penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan
banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa
Indonesia."
AFS
Pada tahun 50-an PII melakukan berbagai
kerjasama pendidikan dengan berbagai negara. Salah satu aktifitas yang
dilakukan adalah American
Field Service
(AFS) berupa pertukaran pelajar di Indonesia dengan di Amerika. Beberapa kader
PII yang merupakan alumni AFS ini adalah Taufiq Ismail, Tanri Abeng, dan ZA.
Maulani. Belakangan program ini diambil alih oleh Pemerintah RI.
Angkatan 66
Setelah mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno memusatkan
seluruh kekuasaaan negara di tangannya sendiri. Soekarno mengajukan konsep
persatuan antar ideologi yang dikenal dengan NASAKOM
(Nasionalis-Agama-Komunis). PII yang sejak semula tidak sejalan dengan PKI
menolak konsep itu bersama dengan elemen lain seperti HMI dan GPII. Pada tahun
1962, GPII dibubarkan serta dilanjutkan dengan usaha pembubaran HMI. Saat
itulah PII mengeluarkan pernyataan, "Langkahi mayat PII sebelum
membubarkan HMI".
Perseteruan PII dan PKI terus berlanjut
terutama setelah pembubaran Masjumi di tahun 1960. PKI menggelari anak-anak PII
sebagai Masjumi bercelana pendek. Puncak perseteruan itu berubah menjadi
teror yang dilancarkan oleh organ PKI di Kanigoro, Kediri. Teror ini dikenal
sebagai Teror Subuh di Kanigoro (Kanigoro
Affairs)
pada Januari 1965. Saat itu ratusan kader PII yang sedang melaksanakan kegiatan
Mental Training diserbu oleh ratusan organ PKI.
Pada tahun 1966 PII mengkonsolidasi kekuatan
pemuda pelajar dalam sebuah gerakan bernama KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia). Ketua Umum PB PII saat itu, M.
Husni Thamrin,
dipilih sebagai Sekretaris Jenderal KAPPI. Segera setelah itu KAPPI berdiri di
berbagai daerah di Indonesia melalui jaringan PII sebagai pelopornya. KAPPI
menjadi sarana efektif penyuaraan Tritura setelah terkekangnya aktifitas KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia). Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan KAPPI tak jarang
mengakibatkan kontak fisik dengan aparat keamanan. Beberapa kader PII/KAPPI
tewas dalam gelombang demonstrasi tersebut antara lain Ichwan
Ridhwan Rais di
Jakarta, Hasanuddin di Banjarmasin, Syarif Alqadri di Makassar, Ahmad Karim di
Bukittinggi, dan masih banyak yang lainnya.
Bawah Tanah
Pada tahun 1985 pemerintah Orde Baru menerbitkan Undang-Undang Keormasan No. 8 tahun 1985. Dalam
undang-undang tersebut disebutkan bahwa setiap organisasi kemasyarakatan di
Indonesia harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas atau asas
tunggal.
Undang-undang ini merupakan bagian dari paket Undang-Undang Politik dimana
sebelumnya telah ada undang-undang yang mengatur hal yang sama untuk Partai Politik. Organisasi Kemasyarakatan diberi waktu
selama dua tahun untuk menyesuaikan diri sebelum dikenai sanksi.
Terdapat tarik-menarik yang cukup heboh
tentang masalah ini. Pada prinsipnya semua organisasi kemasyarakatan sepakat
dan mengakui Pancasila sebagai dasar negara namun terjadi penolakan apabila
semua organisasi dipaksakan menyesuaikan asas mereka dengan dasar negara. NU adalah ormas Islam yang
paling cepat menyesuaikan diri dengan UU tersebut. Sedangkan Muhammadiyah akhirnya menerima setelah melalui proses yang
cukup alot. HMI yang merupakan organisasi
mahasiswa Islam terbesar akhirnya pecah menjadi dua kubu yakni HMI
Dipo di
bawah pimpinan Harry
Azhar Aziz
yang kemudian dilanjutkan oleh M.
Saleh Khalid
dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di bawah
pimpinan Eggie
Sudjana.
Kubu Dipo menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas sedangkan HMI MPO
menolak menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua HMI ini
masing-masing mengaku sebagai HMI yang sah.
Di PII sendiri bukan tidak ada perbedaan
pendapat tentang masalah ini. Sebagian memilih menyesuaikan diri dan sebagian
yang lain menolak. Kubu yang menolak beralasan bahwa negara tidak boleh
mengatur secara paksa urusan internal ormas. Sementara kelompok yang menerima
beralasan bahwa PII tidak perlu terlalu memperhatikan masalah itu karena pada
dasarnya PII akan lebh banyak berkutat pada masalah pelajar. Tarik-tarik ini
baru selesai pada saat Deklarasi
Cisarua
yang memutuskan bahwa PII menolak menyesuaikan diri dengan asas
tunggal.
Pada 17 Juni 1987, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan
pembekuan PII dan larangan segala aktifitas yang mengatasnamakan PII di seluruh
wilayah Indonesia.
Setelah dibekukan, secara resmi PII sudah
terlarang melakukan berbagai aktifitas di Indonesia. Namun pada kenyataannya
kegiatan PII tetap berjalan seperti biasa namun disiasati dengan menggunakan
nama samaran. Di beberapa daerah, Pengurus Daerah PII berkegiatan dengan
menggunakan nama Kelompok Belajar, Kelompok Pengajian, Kelompok Arisan, serta
Kelompok Hobi. Untuk kegiatan Kaderisasi, PB PII mengantisipasi dengan
memperkenalkan model kaderisasi yang disebut "Sebelas Bintang, Matahari
Plus Rembulan". Model ini dengan segera berkembang menjadi sistem
kaderisasi alternatif selama masa pembekuan. Dengan cara ini, kegiatan PII
tetap berjalan walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Reformasi
Menjelang Reformasi 1998, PII sedang
mempersiapkan diri untuk kembali menjadi organisasi formal dalam pentas gerakan
pemuda/pelajar di Indonesia. Untuk itu PII menerapkan "Strategi Kulit
Bawang" dimana PII mempunyai dua Anggaran Dasar. Satu Anggaran Dasar yang
asli untuk kebutuhan internal, dan satu lagi Anggaran Dasar samaran untuk legalisasi
di Departemen Dalam Negeri.
Dari segi kaderisasi, PII sebelum reformasi
juga menyiapkan sistem kaderisasi terbaru bernama Sistem Ta'dib.
Keanggotaan dan
Kepemimpinan
Keanggotaan
Keanggotaan di PII ditandai dengan beberapa
jenis. Jenis pertama Anggota Tunas yaitu pelajar tingkat seolah dasar yang
mengikuti kegiatan pembinaan di PII. Kedua, Anggota Muda yakni pelajar tingkat
sekolah menengah yang mengikuti pembinaan PII. Ketiga, Anggota Biasa yakni
pelajar tingkat menengah yang telah mengikuti Basic Training PII. Keempat,
Anggota Luar Biasa yakni pelajar asing yang menjadi Anggota PII. Kelima,
Anggota Kehormatan yakni orang-orang yang berjasa pada PII dan diangkat sebagai
anggota.
Dari semua jenis anggota itu yang mempunya
hak dan kewajiban penuh untuk beraktifitas, dipilih dan memilih di PII hanya
Anggota Biasa.
Kepemimpinan
Pengurus Komisariat
Pengurus Komisariat PII adalah unit terdepan
pembinaan pelajar. Pengurus Komisariat berbasis di sekolah SMP atau SMA,
Mesjid, atau Kelurahan. Pengurus Komisariat dipilih dalam Musyawarah Komisariat
untuk masa bakti 1 tahun. Personil Pengurus Komisariat berusia rata-rata 13-17
tahun.
Pengurus Daerah
Pengurus Daerah PII adalah unit Kepemimpinan
satu tingkat di atas Komisariat. Pengurus Daerah berbasis di daerah Kota atau
Kabupaten walaupun tidak tertutup kemungkinan ada 2 pengurus daerah dalam satu
kabupaten. Pengurus Daerah dipilih dalam Konferensi Daerah untuk masa bakti 1
tahun. Personil Pengurus Daerah berusia rata-rata 13-17 tahun. Dalam satu
Pengurus Daerah biasanya ada 3 institusi yakni Badan Induk, Koordinator Daerah
Badan Otonom PII Wati serta Koordinator Daerah Badan Otonom Brigade PII. Di
Pengurus Daerah juga terdapat Korps Pemandu dan Muallim.
Pengurus Wilayah
Pengurus Wilayah PII adalah unit Kepemimpinan
satu tingkat di atas Daerah. Pengurus Wilayah berbasis di daerah Propinsi
walaupun tidak tertutup kemungkinan ada 2 pengurus wilayah dalam satu propinsi.
Pengurus Wilayah dipilih dalam Konferensi Wilayah untuk masa bakti 2 tahun.
Personil Wilayah berusia rata-rata 18-22 tahun atau sedang menjadi mahasiswa
S1. Dalam satu Pengurus Wilayah biasanya ada 3 institusi yakni Badan Induk,
Koordinator Wilayah Badan Otonom PII Wati serta Koordinator Wilayah Badan
Otonom Brigade PII. Di Pengurus Wilayah juga terdapat Korps Instruktur
Pengurus Besar
Pengurus Besar PII adalah unit Kepemimpinan
tertinggi di PII. Pengurus Wilayah dipilih dalam Muktamar Nasional untuk masa
bakti 2 tahun. Personil Pengurus Besar rata-rata diisi oleh mahasiswa S1
tingkat akhir dan Mahasiswa S2. Dalam Pengurus Besar biasanya ada 3 institusi
yakni Badan Induk, Koordinator Pusat Badan Otonom PII Wati serta Koordinator
Pusat Badan Otonom Brigade PII ditambah dengan Badan dan Lembaga Khusus. Di
Pengurus Besar terdapat Dewan Ta'dib.
Badan Otonom
Korps Brigade PII
Brigade PII adalah badan otonom PII yang
berbentuk kelasykaran/ketentaraan. Ia ia merupakan salah satu dari pasukan
rakyat yang berjuang melawan penjajah. Pada masa kemerdekaan Republik
Indonesia, terbentuk lasykar-lasykar dari rakyat banyak yang turut membantu TKR (Tentara Keamanan
Rakyat)antara lain TRI Hizbullah, BPRI (Baris dan Pemberontakan RI), TRIP (Tentara Republik
Indonesia Pelajar Jawa Timur), Sabilillah, Tentara Pelajar IPPI, TPI (Tentara Pelajar
Islam Aceh), CM Corps – Mahasiswa, CP (Corps Pelajar Solo) dan lain sebagainya.
Brigade PII diresmikan pada tanggal 6
November 1947 dengan Komandan Abdul Fattah Permana. Walaupun baru diresmikan
pada tahun 1947, sebenarnya sebelumnya telah ada aktifitas ke-brigade-an di
PII. Satuan yang telah ada sebelum peresmian Brigade PII adalah TPI (Tentara
Pelajar Islam Aceh). Terdapar sebanya 12.000 orang anggotanya yang langsung
dikoordinir di bawah komando Komandan Koordinator Pusat Brigade PII saat itu.Di
antara pimpinan TPI Aceh ialah Hasan Bin Sulaiman, Hamzah SH, dan Ismail Hasan Metareum SH
Brigade PII juga terlibat dalam perlawanan
terhadap pemberontakan PKI di Madiun. Pada saat itu, Komandan Brigade PII
Madiun Surjo
Sugito
yang masih belajar di Sekolah Menengah, tewas. Ketika era bawah tanah, peran
Brigade yang paling utama adalah menyelamat missi dan eksistensi organisasi.
Tak jarang Brigade memainkan peran yang seharusnya diperankan oleh badan induk
PII yang sedang dibekukan oleh pemerintah Orde Baru.
Korps PII Wati
Korps PII adalah Badan Otonom PII yang khusus
melakukan pembinaan pelajar putri. Pada awalnya gagasan Korps PII Wati lahir di
Training
Centre
(TC) Keputerian PII se-Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 20-28 Juli 1963
di Surabaya. Dalam TC berkembang kesadaran kuat untuk meningkatkan peranan dan
kualitas kader dan kepemimpinan PII Wati serta menghapus citra negatif peran
PII Wari hanya sebagai pengelola konsumsi. Selain itu juga ada fakta bahwa
kesempatan bagi pelajar puteri untuk mengembangkan diri di PII relatif lebih
terbatas dan pendek dibandingkan pelajar putra. Oleh karena itu peserta TC
merumuskan gagasan pembentukan suatu wadah alternatif yang diharapkan
mampumempercepat proses kaderisasi kepemimpinan puteri dalam masa aktif yang
pendek tersebut.
Pada akhir 1963, Bagian Keputrian PW PII
Yogjakarta Besar mulai membentuk Korps PII Wati Yogjakarta Besar. Selanjutnya
dalam sidang keputerian Muktamar PII X Juli 1964 di Malang,
Koprs PII Wati Yogyakarta Besar diwakili St. Wardanah AR, Masyitoh Sjafei dan
Hafsah Said mengajukan usulan pembentukan Koprs PII Wati. Sementara Sri
Sjamsiar dari PB PII juga mengajukan usul serupa. Kedua usulan itu diterima
dalam Muktamar tersebut. Selanjutnya Rapat Pleno I PB PII periode 1964-1966
yang dilangsungkan pada tanggal 6 September 1964 menugaskan Sri Sjamsiar selaku
Ketua IV untuk mengkoordinir tindak lanjut Keputusan Muktamar X itu. Sebagai
hasil dari tindak lanjut tersebut terbentuk Koprs PII Wati dengan Ketua pertama
Siti Habibah Idris.
Dalam perkembangan selanjutnya, Korps PII
Wati semakin mandiri. Pengurus Korps PII wati tidak lagi dipilih dari bidang
keputrian, namun dipilih dalam musyawarah khusus dalam institusi musyawarah
PII. Korps PII wati juga memiliki struktur yang otonom sampai ke tingkat
komisariat PII.
Pengurus Besar dari masa ke
masa
No
|
Ketua Umum
|
Sekretaris Jenderal
|
Komandan Brigade
|
Ketua PII Wati
|
Dari
|
Sampai
|
1
|
Joesdi
Ghazali
|
Ibrahim
Zarkasji
|
belum
ada
|
belum
ada
|
1947
|
1947
|
2
|
Noersjaf
|
Joesdi
Ghazali
|
Abdul
Fattah Permana
|
belum
ada
|
1947
|
1948
|
3
|
Anton
Timoer Djailani
|
A.
Halim Tuasikal
|
belum
ada
|
1948
|
1950
|
|
4
|
Anton
Timoer Djailani
|
A.
Halim Tuasikal
|
belum
ada
|
1950
|
1952
|
|
5
|
Ridwan
Hasjim
|
belum
ada
|
1952
|
1954
|
||
6
|
Amir
Hamzah Wirjosoekanto
|
belum
ada
|
1954
|
1956
|
||
7
|
Ali
Undaja
|
belum
ada
|
1956
|
1958
|
||
8
|
Wartomo
Dwijuwono
|
Agus
Sudono
|
belum
ada
|
1958
|
1960
|
|
9
|
Thaher
Sahabuddin
|
Endang
T. Djauhari
|
belum
ada
|
1960
|
1962
|
|
10
|
Ahmad
Djuwaeni
|
belum
ada
|
1962
|
1964
|
||
11
|
Syarifuddin
Siregar Pahu
|
M.
Husni Thamrin
|
St.
Habibah Idris
|
1964
|
1966
|
|
12
|
Utomo
Dananjaya (1966), Mansur Amin (1966-1969)
|
Gomsoni
Yasin
|
Wifra
Ilyas
|
1966
|
1969
|
|
12
|
Khozien
Arief
|
1966
|
1969
|
|||
14
|
M.
Husein Umar
|
Khozien
Arief
|
1969
|
1973
|
||
14
|
Mansur
Amin
|
1969
|
1973
|
|||
15
|
Yusuf
Rahimi
|
Nurdiati
Akma
|
1973
|
1976
|
||
16
|
Ahmad
Jonanie Aloetsjah
|
Nasroul
Hamzah
|
1976
|
1980
|
||
17
|
Masyhuri
Amin Mukhri
|
1980
|
1983
|
|||
18
|
A.
Rasyid Muhammad
|
1983
|
1986
|
|||
19
|
Chalidin
Yacobs
|
Mukhlis
Abdi
|
1986
|
1989
|
||
20
|
Agus
Salim
|
Abdullah
Baqir Zein
|
1989
|
1992
|
||
21
|
Syaefunnur
Maszah
|
Abdul
Rahman Farid
|
Marfuah
Musthafa
|
1992
|
1995
|
|
22
|
Zaenul
Ula MJ (1995-1996), Asep Efendi (1996-1997), Subarman HS (1997-1998)
|
Supriatna
|
Istianah
Hamid
|
1995
|
1998
|
|
23
|
Djayadi
Hanan
|
Irfan
Maulana Amrullah (1998-1999), Rofiq Azhar (1999-2000)
|
Ujang
Supriadi (1998-1999), Herry D. Kurniawan (1999-2000)
|
Tirta
Murlina
|
1998
|
2000
|
24
|
Abdi
Rahmat
|
Fajar
Nursahid (2000-2001), Muhammad Sudjatmoko (2001-2002)
|
Muhammad
Shood Solehuddin
|
Nani
Hayati (2000-2002), Desi Refida Minda Sari (2002)
|
2000
|
2002
|
25
|
Zulfikar
|
Romdin
Azhar (2002-2003), Tri Suhari Yadi (2003-2004)
|
Zaenal
Abidin
|
Aryani
Patimah
|
2002
|
2004
|
26
|
Delianur
|
Jen
Zuldi RZ (2004-2005), Pujo Priyono (2005-2006)
|
Nurdiansyah
|
Hanik
Riwayati
|
2004
|
2006
|
27
|
Muhammad
Zaid Markarma
|
Nuril
Anwar (2006-2007), Yudi Helfi (2007-2008)
|
Deni
Rusdiana (2006-2008), Jamaluddin Hidayat (2008)
|
Nur
Amelia
|
2006
|
2008
|
28
|
Nashrullah
Al-Ghifary
|
Ahmad
Jojon Novandri
|
Ahmad
Syahidin
|
Nur
Amelia (2008-2009), Ulfa Elvia Baroroh (2009-2010)
|
2008
|
2010
|
29
|
Muhammad
Ridha
|
Ridhwan
Zulmi (2010-2011), Dede Rahmat (2011-2012)
|
Zulfikar
Kareung
|
Maryam
Ali
|
2010
|
2012
|
Kaderisasi
Organisasi ini mempunyai pola kaderisasi
berjenjang yang mengkombinasikan aktivisme, intelektualisme, dan religiusitas
yang disebut Ta'dib. Istilah Ta'dib
dikembangkan oleh Syed Muhammad
Naquib al-Attas walaupun PII tidak mendasarkan Ta'dibnya kepada
pemikiran Naquib. Istilah Ta'dib digunakan sebagai pembeda dari istilah tarbiyah yang menurut penyusun konsep kaderisasi PII
tidak bermakna spesifik. Konsep tarbiyah bersifat umum sementara ta'dib lebih
bersifat spesifik pada pendidikan dalam rangka menciptakan manusia yang lebih
beradab.
Ta'dib sendiri merupakan sistem kaderisasi
baru yang digunakan PII sejak era reformasi yang menandai munculnya kembali PII
di ranah kehidupan publik setelah dibekukan oleh perintah orde baru dalam kasus pemaksaan asas
tunggal. Sistem
ini mengkombinasikan tiga model pembinaan kader melalui jalur training, ta'lim
dan kursus.
Sistem Kaderisasi PII merupakan suatu
pendekatan progresif dalam pembelajaran di Indonesia. Para kader dididik dengan
pendekatan partisipatif dalam paradigma pendidikan orang dewasa (andragogi) yang mendorong tumbuhnya kesadaran kritis
semenjak dini. Dalam pendidikan di PII setiap warga belajar dihormati sebagai
orang dewasa yang sudah mempunyai pengetahuan sehingga keberadaan mereka
dihargai. Dalam proses pendidikan model ini, para instruktur bukanlah guru yang
paling tahu tentang materi yang sedang dibahas melainkan hanya fasilitator yang
juga belajar dalam proses itu. Pendekatan ini telah dilakukan PII semenjak
tahun 1960-an.
Training
Training merupakan jantung kaderisasi PII.
Durasi training berlangsung selama masing-masing 6 - 8 hari. Ada 3 jenjang
training yakni Basic Training, Intermediate Training, dan Advanced Training
Ta'lim
Ta'lim merupakan sarana pembinaan keislaman
kader secara berkelanjutan. Terdapat 3 jenjang ta'lim yakni Ta'lim Awwal,
Ta'lim Wustha, dan Ta'lim 'Aly
Kursus
Melalui kursus kader PII diberikan
keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan baik dalam bidang keislaman, kepemimpinan,
maupun ilmu pengetahuan. Terdapat banyak paket kursus di PII seperti Forum
Perkenalan Anggota (Foperta), Belajar Islam Bersama (BIB), Telaah Nilai
Kepribadian Muslimah (TNKM), Pendidikan Kader Tunas (PKT), Latihan Dasar
Intensif Brigade (LDIB), Latihan Brigade Tingkat Dasar (LBTD), Latihan Brigade
Tingkat Lanjut (LBTL), Forum Pacu Prestasi Studi (Forpasdi), Pendidikan
Muallim, Pendidikan Pemandu, Pendidikan Instruktur Dasar dan Lanjut, serta
banyak kursus lainnya.
Kerjasama Internasional
Sejak lama PII telah membuka kerjasama
internasional dengan berbagai lembaga pelajar yang ada di berbagai negara. PII
adalah pendiri Persatuan Pelajar Asia Tenggara (PEPIAT) bersama dengan PKPIM di Malaysia. PII juga
anggota pendiri di International Islamic Federation of Students Organization
(IIFSO), anggota di World Assemby of Moslem Youth (WAMY), dll. Pada tahun 1995,
Ketua Umum PB PII Abdul
Hakam Naja
terpilih sebagai Financial Secretary IIFSO. Setelah itu pada tahun 2007, Ketua
Umum PB PII Muhammad
Zaid Markarma
terpilih sebagai Sekretaris Jenderal PEPIAT.
Alumni PII
Sebagai organisasi kader, masa aktif di PII
sangat terbatas hanya pada usia sekolah/mahasiswa. Setelah itu, seorang kader
menjadi alumni PII dan dikenal sebagai Keluarga Besar PII. Sebagian alumni PII
melanjutkan aktifitasnya di organisasi atau lembaga lain sehingga seringkali
lebih dikenal sebagai tokoh di lembaga tersebut. Sebagian besar alumni PII
tahun 1960-an identik dengan alumni HMI selain ada juga yang menjadi anggota IMM, PMII, dan lainnya. Selanjutnya
sebagian melanjutkan ke jalur politik namun cenderung tidak monolitik sehingga
tersebar di berbagai Partai Politik mulai dari Parpol Islamis sampai Parpol
Sekular. Di samping jalur politik, tidak sedikit di antara mereka menjadi kaum
profesional, pegawai, pengusaha, guru, tentara, pendakwah, pekerja sosial dan
lainnya. Beberapa alumni PII antara lain Adi Sasono (ICMI), Umar
Anggara Jenie
(Peneliti Senior), Sugeng
Sarjadi
(SSS), Utomo
Danajaya
(Paramadina), Jimly Asshiddiqie, Hatta Rajasa, Sutrisno Bachir, Ganjar Kurnia (Rektor Universitas Padjajaran), Taufiq Ismail (Penyair), Ebiet G. Ade (Penyanyi), Sofyan Djalil (Profesional), KH. Cholil
Ridhwan (MUI), Arief Rachman (Pakar Pendidikan), Hasyim Muzadi (NU), Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden
RI), Mustafa Abubakar, (Meneg BUMN), AM Fatwa, Tifatul Sembiring (Menkominfo), Hidayat Nur Wahid mantan Ketua MPR 2004-2009, Muhammad Yusuf Asy'ari mantan Menag Perumahan
Rakyat Kabinet Bersatu Jilid I dan MS Kaban mantan Menhut Kabinet Bersatu Jilid I.
Sebagai sarana komunikasi antar alumni PII,
sejak 23 Mei 1998 dibentuk suatu wadah Perhimpunan Keluarga Besar PII (Perhimpunan
KB PII)
yang menggalang sinergitas antar alumni PII dari berbagai sektor. Perhimpunan
KB PII pernah dipimpin oleh Letjend (Purn) Z.A. Maulani(1998-2001; 2001-2005),
Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (2005-2008), dan DR. Tanri Abeng (2008-2011) sebagai Ketua Umum. Saat ini
Perhimpunan KB PII dipimpin oleh Ketua Umum Soetrisno Bachir untuk periode 2011-2015.
[Daftar Pimpinan
Perhimpunan KB PII dari masa ke masa
No
|
Ketua Umum
|
Sekretaris Jenderal
|
Dari
|
Sampai
|
1
|
Letjend
(Purn) Zaini
Azhari Maulani
|
Drs.
Hidajat
|
1998
|
2001
|
2
|
Letjend
(Purn) Zaini
Azhari Maulani
|
Drs.
Hidajat
|
2001
|
2005
|
3
|
Prof.
DR. M. Ryaas Rasyid
|
Drs.
M. Natsir Zubaidy
|
2005
|
2008
|
4
|
DR.
Tanri Abeng
|
Drs.
A. Rasyid Muhammad
|
2008
|
2011
|
5
|
Soetrisno Bachir, SE
|
Djayadi
Hanan, S.Sos, M.Si, MAIA, MA
|
2011
|
2015
|
0 komentar:
Posting Komentar