SEBANYAK
121 pulau,
lima
berukuran sedang, sisanya kecil-kecil bahkan ada yang berwujud batu karang,
mencuat ke permukaan. Laut yang mengelilinginya merajut tebaran pulau itu
menjadi satu untaian yang disebut Banggai Kepulauan. Luas hamparan laut di
wilayah ini dua kali lipat dibandingkan dengan luas daratan yang ada.
SEBELUMNYA,
kabupaten ini merupakan kesatuan wilayah dengan Kabupaten Banggai. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 1999 menetapkan pulau-pulau di tengah lautan
tersebut menjadi daerah otonom. Kabupaten induk tetap disebut Kabupaten
Banggai dan pemekarannya disebut Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep).
Sebagai
wilayah kepulauan, laut menjadi bagian kehidupan sehari-hari yang selalu
dan harus digeluti. Pasalnya, di sanalah terdapat potensi dan kekayaan
alam yang pantas diolah dan diusahakan sebagai penopang kehidupan penduduk
Bangkep. Laut yang bagi banyak orang terkesan menakutkan bagi kabupaten
ini merupakan harapan.
Menurut
sensus penduduk tahun 2000, penduduk yang sehari-hari menggeluti perikanan
8.299 orang, sedangkan sebagian petani merangkap menjadi nelayan. Saat
lahan pertanian tak lagi membutuhkan banyak tenaga, mereka biasanya melaut
mencari ikan. Dari hamparan air asin 6.522 kilometer persegi ini tahun
2002 ditangkap 11.487 ton ikan. Jika dirupiahkan, nilainya Rp 31,6 miliar,
menurun dibandingkan dengan hasil tangkapan tahun sebelumnya yang tercatat
14.140 ton.
Data
di atas bisa diperdebatkan karena banyak nelayan yang langsung menjual
hasil tangkapan ke penampung di tengah laut. Kapal-kapal besar yang datang
dari Sulawesi Utara dan Kendari setiap hari menunggu, dilengkapi pendingin.
Kontras dengan kapal nelayan tradisional. Di tengah laut itulah transaksi
jual beli terjadi.
Bangkep
bergantung pada kehidupan sektor pertanian, termasuk perikanan. Separuh
penduduk lebih hidup dari sektor ini, yakni 61.630 orang, sedangkan
penduduk yang hidup dari perikanan 8.299 orang. Sudah umum diketahui
kebanyakan petani merangkap sebagai nelayan.
Ikan
kerapu hidup merupakan primadona tangkapan nelayan. Harga dari nelayan ke
penampung berkisar Rp 60.000 hingga Rp 120.000 per kilogram, tergantung
jenis ikan. Kerapu macan lebih murah daripada kerapu tikus, dan yang
termahal ikan napoleon. Di tangan pedagang, harganya Rp 300.000 per
kilogram.
Ikan
layang atau ikan pelagis yang banyak ditangkap nelayan di tangan penampung
dihargai sekitar Rp 500 per kilogram. Khusus layang super berekor kuning,
harganya Rp 2.500 per kilogram. Selain ikan segar, Bangkep juga dikenal
dengan cumi-cumi kering. Tahun 2002 dihasilkan 345.000 ton ukuran kecil
dan 220.000 ton ukuran besar, sebagian besar dikirim ke Jawa.
Kontribusi
perikanan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Bangkep tahun
2002 tercatat Rp 33,3 miliar, atau sekitar 6,8 persen dari total kegiatan
ekonomi Rp 491,4 miliar. Perkebunan menyumbang 19,4 persen dan tanaman
bahan pangan 18,5 persen.
Andalan
perkebunan wilayah ini adalah kelapa, cengkeh, kakao, dan jambu mete yang
dihasilkan hampir di seluruh kecamatan. Dari masing-masing komoditas
tersebut tahun 2002 dihasilkan 18.235 ton kelapa, 805 ton cengkeh, 1.642
ton kakao, dan 1.115 ton jambu mete. Karena di Bangkep belum ada industri
pengolahan yang mampu menyerap hasil perkebunan ini, petani memasarkan
dalam bentuk apa adanya ke luar Bangkep.
Seperti halnya kelapa, setelah dikeringkan dalam bentuk kopra dikirim ke
Luwuk, ibu
kota
Kabupaten Banggai. Di kabupaten induk terdapat pabrik minyak goreng yang
membutuhkan bahan
baku
kopra. Sebagian dikirim ke
Surabaya
untuk keperluan yang sama. Adapun jambu mete sebagian besar dibeli oleh
pedagang dari Pulau Jawa.
Cengkeh
yang dulu pernah menjadi pundi-pundi uang petani kini terpuruk. Cengkeh
kering per kilogram dihargai Rp 12.000-Rp 13.000. Padahal tahun 2002
pernah mencapai Rp 80.000.
Meskipun
sumbangan tanaman bahan pangan wilayah ini terhadap perekonomian Bangkep
cukup berarti, untuk mencukupi kebutuhan pangan terutama beras, Bangkep
mendatangkan dari luar. Beras didatangkan dari Kabupaten Banggai yang di
tahun 2002 surplus sekitar 32.000 ton. Juga didatangkan dari Kabupaten
Parigi Moutong.
Mulai
Maret 2003, khususnya di Pulau Banggai, listrik menyala 24 jam. Penerangan
yang tanpa henti ini banyak menolong nelayan menyimpan hasil tangkapan.
Produksi es untuk membekukan ikan akan selalu tersedia.
Sebagai
wilayah kepulauan, angkutan laut sangat dibutuhkan. Apalagi kapal-kapal
besar yang bisa mengangkut hasil bumi ke provinsi atau pulau lain tersedia.
Sebelum Oktober 2003 ada kapal Pelni KM Ciremai yang menghubungkan Banggai
ke Tanjung Priok,
Jakarta
.
Satu minggu sekali kapal ini angkat jangkar dari Banggai. Berangkat Jumat
pagi dan Senin pagi merapat di Tanjung Priok,
Jakarta
.
Keberadaan
kapal tersebut sangat membantu perekonomian Bangkep. Hasil bumi dan laut
wilayah ini, yang paling menonjol adalah cumi kering, bisa cepat sampai ke
konsumen di Pulau Jawa. Namun, sejak Oktober 2003, setelah 10 tahun
menjalani jalur ini, KM Ciremai tidak lagi singgah di Banggai. Sebagai
gantinya, wilayah ini disinggahi KM Tilongkabila yang tak langsung ke
Jakarta
.
Kapal
ini sebulan sekali mampir di Banggai. Alur perjalanan dari Bitung, Luwuk,
Banggai, Morowali, Kendari, Makassar, terus ke Benoa. Bagi Bangkep,
perubahan rute perjalanan dan jadwal kedatangan kapal yang semakin lama
ini mempengaruhi perekonomian masyarakat.
Biaya
yang dikeluarkan untuk komoditas dari Banggai yang di kirim ke Jawa
semakin membengkak, waktu tempuh yang dibutuhkan semakin panjang. Konsumen
terkena dampak karena barang tersebut semakin mahal. Kalau ada pesaing
yang memasok dengan harga lebih miring dan waktu lebih cepat, bisa
dipastikan konsumen akan beralih ke pemasok lain. Ini bisa menjadi ancaman
serius bagi pedagang, petani, dan nelayan Bangkep.
Wilayah
Bangkep kaya akan keindahan laut, pantai, dan pulau-pulau kecil yang
memesona. Semakin sulitnya mencapai kabupaten ini, semakin jauh harapan
untuk bisa menarik wisatawan. Kepada
siapa lagi mereka berharap kecuali pemerintah pusat.
v
0 komentar:
Posting Komentar